Minggu, 01 April 2012

PSIKOLOGI BELAJAR

A. Pengertian Belajar

Menurut Winkel, belajar adalah semua aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dalam lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengelolaan pemahaman.
Menurut Ernest R. Hilgard dalam (Sumardi Suryabrata, 1984:252) belajar merupakan proses perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, yang kemudian menimbulkan perubahan, yang keadaannya berbeda dari perubahan yang ditimbulkan oleh lainnya.
Sifat perubahannya relatif permanen, tidak akan kembali kepada keadaan semula. Tidak bisa diterapkan pada perubahan akibat situasi sesaat, seperti perubahan akibat kelelahan, sakit, mabuk, dan sebagainya.
Sedangkan Pengertian Belajar menurut Gagne dalam bukunya The Conditions of Learning 1977, belajar merupakan sejenis perubahan yang diperlihatkan dalam perubahan tingkah laku, yang keadaaannya berbeda dari sebelum individu berada dalam situasi belajar dan sesudah melakukan tindakan yang serupa itu. Perubahan terjadi akibat adanya suatu pengalaman atau latihan. Berbeda dengan perubahan serta-merta akibat refleks atau perilaku yang bersifat naluriah.
Moh. Surya (1981:32), definisi belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan. Kesimpulan yang bisa diambil dari kedua pengertian di atas, bahwa pada prinsipnya, belajar adalah perubahan dari diri seseorang.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Belajar
Secara umum faktor-faktor yang memengaruhi hasil Wajar dibedakan atas dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal Kedua faktor tersebut saling memengaruhi dalam proses belajar individu sehingga menentukan kualitas hasil belajar.
a. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu dan dapat memengaruhi hasil belajar individu. Faktor-faktor internal ini meliputi faktor fisiologis dan psikologis.

1) Faktor fisiologis
Faktor-faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik individu. Faktor-faktor ini dibedakan menjadi dua macam. Pertama, keadaan tonus jasmani. Keadaan tonus jasmani pada umumnya sangat memengaruhi aktivitas belajar seseorang. Kondisi fisik yang sehat dan bugar akan memberikan pengaruh positif terha¬dap kegiatan belajar individu. Sebalikrtya, kondisi fisik yang lemah atau sakit akan menghambat tercapainya hasil belajar yang maksimal. Oleh karena keadaan tonus jasmani sangat memengaruhi proses belajar, maka perlu ada usaha untuk menjaga kesehatan jasmani. Cara untuk menjaga kesehatan Jasmani antara lain adalah: 1) menjaga pola makan yang sehat dengan memerhatikan nutrisi yang masuk ke dalam tubuh, karena kekurangan gizi atau nutrisi akan mengakibatkan tubuh cepat lelah, lesu, dan mengantuk, sehingga tidak ada gairah untuk belajar; 2) rajin berolahraga agar tubuh selalu bugat dan sehat; 3) istirahat yang cukup dan sehat.
Kedua, keadaan fungsi jasmani/fisiologis. Selama proses belajar berlangsung, peran fungsi fisiologi pada tubuh manusia sangat memengaruhi hasil belajar, terutama pancaindra. Pancaindra yang berfungsi dengan baik akan mempermudah aktivitas belajar dengan baik pula. Dalam proses belajar, pancaindra merupakan pintu masuk bagi segala informasi yang diterima dan ditangkap oleh manusia, sehingga manusia dapat mengenal dunia luar. Pancaindra yang memiliki peran besar dalam aktivitas belajar adalah mata dan telinga. Oleh karena itu, baik guru maupun siswa perlu menjaga pancaindra dengan baik, baik secara preventif maupun yang,bersifat kuratif, dengan menyediakan sarana belajar yang memenuhi persyaratan, memeriksakan kesehat¬an fungsi mata dan telinga secara periodik, mengonsumsi makanan yang bergizi, dan lain sebagainya.

2) Faktor psikologis

Faktor-faktor psikologis adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat memengaruhi proses belajar. Bebera¬pa faktor psikologis yang utama memengaruhi proses belajar adalah kecerdasan siswa, motivasi, minat, sikap, dan bakat.
- Kecerdasan/inteligensi siswa
Pada umumnya kecerdasan diartikan sebagai kemampu¬an psiko-fisik dalam mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui cara yang tepat. Dengan demikian, kecerdasan bukan hanya berkaitan dengan kualitas otak saja, tetapi juga organ-organ tubuh yang lain. Namun bila dikaitkan dengan kecerdasan, tentunya otak merupakan organ yang penting dibandingkan organ yang lain, karena fungsi otak itu sendiri sebagai pengendali tertinggi (executive control) dari hampir seluruh aktivitas manusia.
Kecerdasan merupakan faktor psikologis yang paling penting dalam proses belajar siswa, karena itu menenentukan kualitas belajar siswa. Semakin tinggi tingkat inteli¬gensi seorang individu, semakin besar peluang individu tersebut meraih sukses dalam belajar. Sebaliknya, semakin rendah tingkat inteligensi individu, semakin sulit indivi¬du itu mencapai kesuksesan belajar. Oleh karena itu, perlu bimbingan belajar dari orang lain, seperti guru, orangtua, dan lain sebagainya. Sebagai faktor psikologis yang penting dalam mencapai kesuksesan belajar, maka pengetahuan dan pemahaman tentang kecerdasan perlu dimiliki oleh setiap calon guru atau guru profesional, sehingga mereka dapat memahami tingkat kecerdasan siswanya.
Pemahaman tentang tingkat kecerdasan individu dapat diperoleh oleh orangtua dan guru atau pihak-pihak yang berkepentingan melalui konsultasi dengan psikolog atau psikiater. Sehingga dapat diketahui anak didik berada pada tingkat kecerdasan yang mana, amat superior, superior, rata¬rata, atau mungkin lemah mental. Informasi tentang taraf kecerdasan seseorang merupakan hal yang sangat berhar¬ga untuk memprediksi kemampuan belajar seseorang. -Pemahaman terhadap tingkat kecerdasan peserta didik akan membantu mengarahkan dan merencanakan bantuan yang akan diberikan kepada siswa.
- Motivasi
Motivasi adalah salah satu faktor yang memengaruhi keefektifan kegiatan belajar siswa. Motivasilah yang mendo¬rong siswa inginn melakukan kegiatan belajar. Para ahli psikologi mendefinisikan motivasi sebagai proses di dalam diri individu yang aktif, mendorong, memberikan arah, dan menjaga perilaku setiap saat (Slavin, 1994). Motivasi juga diartikan sebagai pengaruh kebutuhan-kebutuhan dan keinginan terhadap intensitas dan arah perilaku seseorang. Dari sudut sumbernya, motivasi dibagi menjadi dua, yairu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motiva¬si intrinsik adalah semua faktor yang berasal dari dalam diri individu dan memberikan dorongan untuk melakukan sesuatu. Seperti seorang siswa yang gemar membaca, maka ia tidak perlu disuruh-suruh untuk membaca, karena memba¬ca tidak hanya menjadi aktivitas kesenangannya, tapi bisa jadi juga telah menjadi kebutuhannya. Dalam proses belajar, motivasi intrinsik memiliki pengaruh yang lebih efektif, karena motivasi intrinsik relatif lebih lama dan tidak tergan¬tung pada motivasi dari luar (ekstrinsik).
Menurut Arden N. Frandsen (Hayinah, 1992), yang termasuk dalam motivasi intrinsik untuk belajar antara lain adalah:
1. Dorongan ingin tahu dan ingin menyelediki dunia yang lebih luas;
2. Adanya sifat positif dan kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju;
3. Adanya keinginan untuk mencapai prestasi sehingga mendapat dukungan dari orang-orang penting, misal¬kan orangtua, saudara, guru, atau teman-teman, dan lain sebagainya;
4. Adanya kebutuhan untuk menguasai ilmu atau pengeta¬huan yang berguna bagi dirinya, dan lain-lain.

Motivasi ekstrinsik adalah faktor yang datang dari luar diri individu tetapi memberi pengaruh terhadap kemauan untuk belajar. Seperti pujian, peraturan, tata tertib, reladan guru orangtua, dan lain sebagainya. Kurangnya respons dari lingkungan secara positif akan memengaruhi semangat belajar seseorang menjadi lemah.
- Minat
Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber (Syah, 2003), minat bukanlah istilah yang populer dalam psikologi disebabkan ketergantungannya terhadap berbagai faktor internal lainnya, seperti pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan.
Namun lepas dari kepopulerannya, minat sama halnya dengan kecerdasan dan motivasi, karena memberi penga¬ruh terhadap aktivitas belajar. Karena jika seseorang tidak memiliki minat untuk belajar, ia akan tidak bersemangat atau bahkan tidak mau belajar. Oleh karena itu, dalam konteks belajar di kelas, seorang guru atau pendidik lainnya perlu membangkitkan minat siswa agar tertarik terhadap materi pelajaran yang akan dipelajarinya.
Untuk membangkitkan minat belajar siswa tersebut, banyak cara yang bisa digunakan. Antara lain, pertama, dengan membuat materi yang akan dipelajari semenarik mungkin dan tidak membosankan, baik dari bentuk buku materi, desain pembelajaran yang membebaskan siswa untuk mengeksplor apa yang dipelajari, melibatkan seluruh domain belajar siswa (kognitif, afektif, psikomotorik) sehingga siswa menjadi aktif, maupun performansi guru yang menarik saat mengajar. Kedua, pemilihan jurusan atau bidang studi. Dalam hal ini, alangkah baiknya jika jurusan atau bidang studi dipilih sendiri oleh siswa sesuai dengan minatnya.
- Sikap
Dalam proses belajar, sikap individu dapat memeng¬aruhi keberhasilan proses belajarnya. Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons dengan cara yang relatif tetap terhadap objek, orang, peristiwa dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif (Syah, 2003). Sikap siswa dalam belajar dapat dipengaruhi oleh perasaan senang atau tidak senang pada performan guru, pelajaran, atau lingkungan sekitarnya. Dan untuk mengan tisipasi munculnya sikap yang negatif dalam belajar, guru sebaiknya berusaha untuk menjadi guru yang profesional dan bertanggung jawab terhadap profesi yang dipilihnya. Dengan profesionalitas, seorang guru akan berusaha membe¬rikan yang terbaik bagi siswanya; berusaha mengembangkan kepribadian sebagai seorang guru yang empatik, sabar, dan tulus kepada muridnya; berusaha untuk menyajikan pelajar¬an yang diampunya dengan baik dan menarik sehingga membuat siswa dapat mengikuti pelajaran dengan senang dan tidak menjemukan; meyakinkan siswa bahwa bidang srudi yang dipelajari bermanfaat bagi diri siswa.
- Bakat
Faktor psikologis lain yang memengaruhi proses belajar adalah bakat. Secara umum, bakat (aptitude) didefinisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang (Syah, 2003). Berkaitan dengan belajar, Slavin (1994) mendefinisi¬kan bakat sebagai kemampuan umum yang dimiliki seorang siswa untuk belajar. Dengan demikian, bakat adalah kemam¬puan seseorangyang menjadi salah satu komponen yang diperlukan dalam proses belajar seseorang. Apabila bakat seseorang sesuai dengan bidang yang sedang dipelajarinya, maka bakat itu akan mendukung proses belajarnya sehingga kernungkinan besar ia akan berhasil.
Pada dasarnya, setiap orang mempunyai bakat atau potensi untuk mencapai prestasi belajar sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Karena itu, bakat juga diartikan sebagai kemampuan dasar individu untuk melaku¬kan tugas tertentu tanpa tergantung upaya pendidikan dan latihan. Individu yang telah memiliki bakat tertentu, akan lebih mudah menyerap segala informasi yang berhubung¬an dengan bakat yang dimilikinya. Misalnya, siswa yang berbakat di bidang bahasa akan lebih mudah mempelajari bahasa-bahasa lain selain bahasanya sendiri.

b. Faktor faktor eksogen/eksternal
Selain karakteristik siswa atau faktor-faktor endogen, faktor-faktor eksternal juga dapat memengaruhi proses belajar siswa. Dalam hal ini, Syah (2003) menjelaskan bahwa faktor faktor eksternal yang memengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan nonsosial.
1) Lingkungan sosial
a. Lingkungan sosial masyarakat. Kondisi lingkungan masya¬rakat tempat tinggal siswa akan memengaruhi belajar siswa. Lingkungan siswa yang kumuh, banyak pengang¬guran dan anak telantar juga dapat memengaruhi aktivitas belajar siswa, paling tidak siswa kesulitan ketika memer¬lukan teman belajar, diskusi, atau meminjam alat-alat belajar yang kebetulan belum dimilikinya.
b. Lingkungan sosial keluarga. Lingkungan ini sangat memengaruhi kegiatan belajar. Ketegangan keluarga, sifat-sifat orangtua, demografi keluarga (letak rumah), pengelolaan keluarga, semuanya dapat memberi dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Hubungan antara anggota keluarga, orangtua, anak, kakak, atau adik yang harmonis akan membantu siswa melakukan aktivitas belajar dengan baik.
c. Lingkungan sosial sekolah, seperti guru, administrasi, dan teman-teman sekelas dapat memengaruhi proses belajar seorang siswa. Hubungan yang harmonis antara ketiganya dapat menjadi motivasi bagi siswa untuk belajar lebih baik di sekolah. maka para pendidik, orangtua, dan guru perlu memerhatikan dan memahami bakat yang dimili¬ki oleh anaknya atau peserta didiknya, antara lain dengan mendukung, ikut mengembangkan, dan tidak memaksa anak untuk memilih jurusan yang tidak sesuai dengan bakat¬nya.

2) Lingkungan nonsosial.
Faktor faktor yang termasuk lingkung¬an nonsosial adalah:
a. Lingkungan alamiah, seperti kondisi udara yang segar, tidak panas dan tidak dingin, sinar yang tidak terlalu silau/kuat, atau tidak terlalu lemah/gelap, suasana yang sejuk dan tenang. Lingkungan alamiah tersebut merupa¬kan faktor-faktor yang dapat memengaruhi aktivitas belajar siswa. Sebaliknya, bila kondisi lingkungan alam tidak mendukung, proses belajar siswa akan terhambat.

b. Faktor instrumental, yaitu perangkat belajar yang dapat digolongkan dua macam. Pertama, hardware, seperti gedung sekolah, alat-alat belajar, fasilitas belajar, lapang¬an olahragd dan lain sebagainya. Kedua, software, seperti kurikulum sekolah, peraturan-peraturan sekolah, buku panduan, silabi, dan lain sebagainya.

Faktor materi pelajaran (yang diajarkan ke siswa). Faktor ini hendaknya disesuaikan dengan usia perkembang¬an siswa, begitu juga dengan metode mengajar guru, disesuaikan dengan kondisi perkembangan siswa. Karena itu, agar guru dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap aktivitas belajar siswa, maka guru harus mengua¬sai materi pelajaran dan berbagai metode mengajar yang dapat diterapkan sesuai dengan kondisi siswa.

C. PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN
Kegiatan pembelajaran, terutama dalam tahap perencanaan, prinsip-prinsip pembelajaran didapat batas-batas yang memungkinkan bagi guru dalam proses pelaksanaannya. Pengetahuan tentang teori dan prinsip-prinsip pembelajaran dapat memberikan kemudahan bagi guru dalam memilih tindakan pada saat proses pembelajaran berlangsung. Dalam mengetahui prinsip-prinsip pembelajaran, guru memiliki sikap dan mampu mengembangkannya dalam rangka peningkatan kualitas belajar siswa.
Ada beberapa prinsip yang harus dikuasai dan dikembangkan oleh guru dalam upaya mengoptimalkan kegiatan pembelajaran, yaitu:
1. PRINSIP PERHATIAN DAN MOTIVASI
Perhatian berfungsi sebagai modal dasar yang harus dikembangkan secara optimal untuk memperoleh proses dan hasil yang maksimal. Motivasi merupakan suatu kekuatan yang menggerakan tingkah laku seseoarng untuk beraktivitas Minat dan perhatian setiap orang tidak selamanya stabil intensitasnya bisa tinggi atau bisa juga turun, tergantung pada berbagai unsur yang mempengaruhinya, begitu pula dengan motivasi selain aspek yang bersifat internal, motivasi juga bisa dipengaruhi oleh stimulus yang muncul dari luar dirinya.
Dalam proses pembelajaran, perhatian memiliki peranan yang sangat penting sebagai langkah awal dalam memicu aktivitas-aktivitas belajar. Motivasi berhubungan erat dengan minat. Siswa yang memiliki minat yang lebih tinggi pada suatu mata pelajaran cenderung lebih memiliki perhatian yang lebih mata pelajaran tersebut akan menimbulkan motivasi yang lebih tinggi dalam belajar. Motivasi dalam belajar merupakan hal yang sangat penting juga dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
2. PRINSIP KEAKTIFAN
Belajar dalam hakekatnya adalah proses aktif dimana seseorang dalam melakukan kegiatan secara sadar untuk mengubah sutau perilaku, terjadi kegiatan merespon terhadap setiap pembelajaran. Dengan demikian karena belajar merupakan kegaiatan aktif yang terefleksikan dari berbagai unsur maka sebenarnya tidak satupun kegiatan belajar yang tidak mengandung aktifitas, sekecil apapun aktivitas itu.

3. PRINSIP KETERLIBATAN LANGSUNG/BERPENGALAMAN
Prinsip ini berhubungan dengan prinsip aktivitas, bahwa setiap individu harus terlibat secara langsung untuk mengalaminya, bahwa setiap kegiatan belajar harus melibatkan diri (setiap individu) terjun mengalami. Lebih jauh dari itu apa yang dipelajari harus memiliki manfaat yang lebih mendalam dan luas bagi proses kehidupan, baik masa kini maupun masa yang akan datang. Pendekatan belajar yang mempu melibatkan siswa secara langsung aktif melakukan perbuatan belajar, hasilnya akan lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan yang hanya sekedar menuangkan pengetahuan-pengetahuan informasi.
4. PRINSIP PENGULANGAN
Teori yang dijadikan sebagai petunjuk pentingannya prinsip pengulangan dalam belajar, antara lain bisa dicermati dari dalil-dalil belajar yang dikemukakan oleh Edward L. Thorndike(1974-1949) tentang Law of Learning, yaitu “ Law of effect, Law of exercise, and Law of rediness”.
Mencakup dalil belajar :
- Law of effect : Hasil yang menyenangkan yang diperoleh dari suatu respon akan memperkuat hubungan antara stimulus dan respon, sedangkan hasil yang tidak menyenangkan akan melemahkan hubungan tersebut.
- Law of excercise : Latihan akan menyempurnakan respon berdasarkan pengalaman mengindikasikan bahwa prilaku seseorang dapat dikondisikan dan belajar merupakan upaya untuk mengkondisikan suatu prilaku terhadap sesuatu.
5. PRINSIP TANTANGAN
Siswa dalam situasi belajar berada dalam suatu medan atau lapangan psikologis, dalam situasi belajar siswa menghadapi suatu tujuan yang harus dicapai. Untuk mencapai tujuan tersebut siswa dihadapkan kepada sejumlah hambatan dan tantangan. Agar dalam diri siswa timbul motif yang kuat untuk mengatasi hambatan dengan baik, maka bahan ajar itu perlu dikemas menjadi sesuatu yang menantang siswa. Dengan kata lain pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan konsep.
Implikasi lain dari adanya bahan belajar yang dikemas dalam suatu kondisi yang menantang, seperti yang mengandung masalah yang perlu dipecahkan, siswa akan tertantang untuk mempelajarinnya. Dengan kata lain pembelajaran memberi kesempatan pada siswa untuk turut menemukan konsep-konsep, prinsip-prinsip generalisasi akan menyebabkan siswa berusaha mencari dan menemukan konsep-konsep, prinsip-prinsip generalisasi tersebut.
6. PRINSIP BALIKAN DAN PENGUATAN
Siswa akan belajar lebih semangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik. Apalagi hasil yang baik, merupakan balikan yang menyenangkan dan berpengaruh baik bagi usaha belajar melalui pengamatan melalui metode-metode pembelajaran yang menantang, seperti tanya jawab, diskusi, eksperimen, metode penemuan dan sejenisnya akan membuat siswa terdorong untuk belajar lebih giat dan bersemangat.
7. PRINSIP PEMBEDAAN INDIVIDUAL
Perbedaan individual dalam belajar, yaitu bahwa proses belajar yang terjadi pada setiap individu berbeda satu dengan yang lain baik secara fisik maupun psikis, untuk itu dalam proses pembelajaran mengandung implikasi bahwa setiap siswa hatus dibantu untuk memahami kekuatan dan kelemahan dirinya dan selanjutnya mendapat perlakuan dan pelayanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan siswa itu sendiri.
Ada beberapa prinsip-prinsip pembelajaran yang lain diantaranya :
- Prinsip Kesiapan – Prinsip Belajar Kognitif
- Prinsip Persepsi – Prinsip Belajar Afektif
- Prinsip Tujuan – Prinsip Belajar Psikomotor
- Prinsip Transfer dan Retensi – Prinsip Evaluasi

- Prinsip kesiapan (readiness)
Menurut prinsip ini bahwa proses belajar dipengaruhi oleh kesiapan siswa. Adapun yang dimasksud dengan kesiapanatau readiness adalah kondisi individu yang memungkinkan siswa belajar. Kesiapan dengan kata lain merupakan kematangan dan pertumbuhan fisik, intelegensi, latar belakang, pengalaman, hasil belajar yang lalu.
- Prinsip persepsi
Berdasarkan pandangan ini, bahwa seseorang cenderung untuk percaya sesuai dengan bagaimana ia memahami situasi. Persepsi adalah interpretasi tentang situasi hidup. Persepsi mempengaruhi perilaku setiap individu, dan guru akan dapat memahami siswanya lebih baik bila ia peka terhadap bagaimana cara seseorang melihat situasi-situasi tertentu.
- Prinsip tujuan
Implikasi bagi guru berkenan dengan prinsip tujuan itu, bahwa untuk membantu siswa berhasil dalam pembelajaran yang dilakukannya maka hendaknya tujuan dirumuskan dengan memperhatikan minat dan kebutuhan siswa. Apabila siswa melihat adanya kesesuaian antara minat dan kebutuhannya dengan tujuan yang dirumuskan, maka motivasi belajar siswa akan tumbuh dan meningkat.
- Prinsip transfer dan retensi
Berdasarkan prinsip ini, dalam proses belajar seseorang dituntut untuk menyerap dan menyimpan hasil belajar (retensi) serta menggunakannya dalam situasi baru (transfer). Implikasi terhadap tugas guru dalam membimbing proses pembelajaran berkenaan dengan prinsip ini hendaknya setiap usaha pembelajaran yang dilakukan dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan kemampuannya dalam memecahkan masalah sehari-hari, menunjukkan hubungan antara konsep yang dipelajari dengan konsep lain bahkan dengan mata pelajaran atau bidang study lain sehingga siswa melihat adanya hubungan yang erat dan memiliki arti bagi siswa.
- Prinsip belajar kognitif
Belajar kognitif melibatkan proses pengenalan dan atau penemuan belajar kognitif mencakup asosiasi antar unsur, pembentukan konsep, penemuan masalah dan keterampilan memecahakan masalah yang selanjutnya memasuki prilaku baru. Berpikir, menalar, menilai, dan berimajinasi merupakan aktivitas mental yang berkaitan dengan proses belajar kognitif.
- Prinsip belajar afektif
Proses belajar afektif sesorang menentukan bagaimana ia menghubungkan dirinya dengan pengalaman baru. Belajar afektif yang mencakup nilai, emosi dorongan, minat, dan sikap. Hampir dalam setiap situasikehidupan dan menuntut aspek afektif oleh karena itu berkenaan dengan aspek afektifini guru hendaknya melaksanakan proses pembelajaran yang mengutamakan terbentuknya kemampuan afektif siswa.
- Prinsip belajar psikomotor
Untuk mengembangkan aspek psikomotor siswa antara lain guru dapat memberikan petunjuk secara verbal tentang langkah-langkah yang harus ditempuh siswa untuk menguasai suatu keterampilan.
- Prinsip evaluasi
Jenis, cakupan, dan validitas evaluasi dapat mempengaruhi proses belajar yang tengah berlangsung dan kegiatan pembelajaran selanjutnya. Dengan prinsip evaluasi, bahwa kegiatan evaluasi hendaknya dilaksanakan secara menyeluruh, tidak hanya memfokuskan pada hasil belajar, akan tetapi juga mencakup proses belajar.
D. Teori Belajar

a) Teori Belajar Psikologi Behavioristik

Menurut Teori Behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu apabila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Dengan kata lain, belajarmerupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Para ahli psikologi dalam rumpun behaviorisme ingin meneliti psikologi secara obyektif.
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus(S) dan keluaran atau output yang berupa respon (R). Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus (s) dan respon (r) dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak bisa diamati. Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement) penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakinkuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) respon pun akan tetap dikuatkan.

Prinsip-prinsip teori behaviorisme:
1. Obyek psikologi adalah tingkah laku
2. semua bentuk tingkah laku di kembalikan pada reflek
3. mementingkan pembentukan kebiasaan

b) Teori Belajar Psikologi Kognitif

Psikologi kognitif adalah kajian studi ilmiah mengenai proses-proses mental atau pikiran. Bagaimana informasi diperoleh, dipresentasikan dan ditransfermasikan sebagai pengetahuan.Psikologi kognitif juga disebut psikologi pemrosesan informasi. Tingkah laku seseorang didasarkan pada tindakan mengenal/ memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.

Prinsip Dasar Psikologi Kognitif
1. Belajar aktif
2. Belajar lewat interaksi social
3. Belajar lewat pengalaman sendiri

Teori psikologi kognitif berkembang dengan ditandai lahirnya teori Gestalt (Mex Weitheimer) yang menyatakan bahwa pengalaman itu berstruktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Konsep yang penting dalam teori ini INSIGHT, yaitu: pengamatan atau pemahaman mendadak terhadap hubungan antara bagian-bagian di dalam suatu situasi masalah.

c) Teori Belajar Psikologi Humanistik.

Teori humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abadpertengahan. Pada akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi, seperti :AbrahamMaslow, Carl Rogers dan Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang : self (diri), aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya.

Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas aliran psikoanalisis dan behaviorisme serta dipandang sebagai “kekuatan ketiga “ dalam aliran psikologi.

Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan. Dalam hal ini, James Bugental (1964) mengemukakan tentang 5 (lima) dalil utama dari psikologi humanistik, yaitu:

1. Keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam komponen-komponen,
2. Manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan dengan manusia lainnya,
3. Manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan hubungan dengan orang lain,
4. Manusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat bertanggung jawab atas pilihan-pilihanya, dan
5. Manusia memiliki kesadaran dan sengaja untuk mencari makna, nilai dan kreativitas.

Sebaliknya, psikologi humanistik pun mendapat kritikan bahwa teori-teorinya tidak mungkin dapat memfalsifikasi dan kurang memiliki kekuatan prediktif sehingga dianggap bukan sebagai suatu ilmu (Popper, 1969, Chalmers, 1999).

Hasil pemikiran dari psikologi humanistik banyak dimanfaatkan untuk kepentingan konseling dan terapi, salah satunya yang sangat populer adalah dari Carl Rogers dengan client-centered therapy, yang memfokuskan pada kapasitas klien untuk dapat mengarahkan diri dan memahami perkembangan dirinya, serta menekankan pentingnya sikap tulus, saling menghargai dan tanpa prasangka dalam membantuindividu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas konselor hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik asesmen dan pendapat para konselor bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment atau pemberian bantuan kepada klien.

Selain memberikan sumbangannya terhadap konseling dan terapi, psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education). Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik ini.

E. Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut.
1. Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
2. Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.
3. Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.
4. Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
5. Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.
Siswa yang mengalami kesulitan belajar seperti tergolong dalam pengertian di atas akan tampak dari berbagai gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif, konatif maupun afektif . Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain :
1. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.
2. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah
3. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.
4. Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.
5. Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.
6. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti : pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.
7. Sementara itu, Burton (Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut dia bahwa siswa dikatakan gagal dalam belajar apabila :
8. Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference).
9. Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under achiever.
10. Tidak berhasil tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus menjadi pengulang (repeater)
Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran dapat menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa: (1) tujuan pendidikan; (2) kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat pencapaian hasil belajar dibandinngkan dengan potensi; dan (4) kepribadian.
1. Tujuan pendidikan
Dalam keseluruhan sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan salah satu komponen pendidikan yang penting, karena akan memberikan arah proses kegiatan pendidikan. Segenap kegiatan pendidikan atau kegiatan pembelajaran diarahkan guna mencapai tujuan pembelajaran. Siswa yang dapat mencapai target tujuan-tujuan tersebut dapat dianggap sebagai siswa yang berhasil. Sedangkan, apabila siswa tidak mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan mengalami kesulitan belajar. Untuk menandai mereka yang mendapat hambatan pencapaian tujuan pembelajaran, maka sebelum proses belajar dimulai, tujuan harus dirumuskan secara jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang dicapai dijadikan sebagai tingkat pencapaian tujuan tersebut. Secara statistik, berdasarkan distribusi normal, seseorang dikatakan berhasil jika siswa telah dapat menguasai sekurang-kurangnya 60% dari seluruh tujuan yang harus dicapai. Namun jika menggunakan konsep pembelajaran tuntas (mastery learning) dengan menggunakan penilaian acuan patokan, seseorang dikatakan telah berhasil dalam belajar apabila telah menguasai standar minimal ketuntasan yang telah ditentukan sebelumnya atau sekarang lazim disebut Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sebaliknya, jika penguasaan ketuntasan di bawah kriteria minimal maka siswa tersebut dikatakan mengalami kegagalan dalam belajar. Teknik yang dapat digunakan ialah dengan cara menganalisis prestasi belajar dalam bentuk nilai hasil belajar.
2. Kedudukan dalam Kelompok
Kedudukan seorang siswa dalam kelompoknya akan menjadi ukuran dalam pencapaian hasil belajarnya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila memperoleh prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata kelompok secara keseluruhan. Misalnya, rata-rata prestasi belajar kelompok 8, siswa yang mendapat nilai di bawah angka 8, diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Dengan demikian, nilai yang dicapai seorang akan memberikan arti yang lebih jelas setelah dibandingkan dengan prestasi yang lain dalam kelompoknya. Dengan norma ini, guru akan dapat menandai siswa-siswa yang diperkirakan mendapat kesulitan belajar, yaitu siswa yang mendapat prestasi di bawah prestasi kelompok secara keseluruhan.
Secara statistik, mereka yang diperkirakan mengalami kesulitan adalah mereka yang menduduki 25 % di bawah urutan kelompok, yang biasa disebut dengan lower group. Dengan teknik ini, kita mengurutkan siswa berdasarkan nilai nilai yang dicapainya. dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah, sehingga siswa mendapat nomor urut prestasi (ranking). Mereka yang menduduki posisi 25 % di bawah diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Teknik lain ialah dengan membandingkan prestasi belajar setiap siswa dengan prestasi rata-rata kelompok. Siswa yang mendapat prestasi di bawah rata – rata kelompok diperkirakan pula mengalami kesulitan belajar.
3. Perbandingan antara potensi dan prestasi
Prestasi belajar yang dicapai seorang siswa akan tergantung dari tingkat potensinya, baik yang berupa kecerdasan maupun bakat. Siswa yang berpotensi tinggi cenderung dan seyogyanya dapat memperoleh prestasi belajar yang tinggi pula. Sebaliknya, siswa yang memiliki potensi yang rendah cenderung untuk memperoleh prestasi belajar yang rendah pula. Dengan membandingkan antara potensi dengan prestasi belajar yang dicapainya kita dapat memperkirakan sampai sejauhmana dapat merealisasikan potensi yang dimikinya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila prestasi yang dicapainya tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Misalkan, seorang siswa setelah mengikuti pemeriksaan psikologis diketahui memiliki tingkat kecerdasan (IQ) sebesar 120, termasuk kategori cerdas dalam skala Simon & Binnet. Namun ternyata hasil belajarnya hanya mendapat nilai angka 6, yang seharusnya dengan tingkat kecerdasan yang dimikinya dia paling tidak dia bisa memperoleh angka 8. Contoh di atas menggambarkan adanya gejala kesulitan belajar, yang biasa disebut dengan istilah underachiever.
4. Kepribadian
Hasil belajar yang dicapai oleh seseorang akan tercerminkan dalam seluruh kepribadiannya. Setiap proses belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam aspek kepribadian. Siswa yang berhasil dalam belajar akan menunjukkan pola-pola kepribadian tertentu, sesuai dengan tujuan yang tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Siswa diakatan mengalami kesulitan belajar, apabila menunjukkan pola-pola perilaku atau kepribadian yang menyimpang dari seharusnya, seperti : acuh tak acuh, melalaikan tugas, sering membolos, menentang, isolated, motivasi lemah, emosi yang tidak seimbang dan sebagainya.
F. Bimbingan Belajar

Bimbingan belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1. Identifikasi kasus
Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni :
 Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan.
 Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
 Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
 Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi siswa.
 Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial

2. Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan siswa dapat berkenaan dengan aspek : (a) substansial – material; (b) struktural – fungsional; (c) behavioral; dan atau (d) personality. Untuk mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar aspek : (a) jasmani dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan sosial; (d) ekonomi dan keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran; (g) agama, nilai dan moral; (h) hubungan muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan keluarga; dan (j) waktu senggang.
3. Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua bagian faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar siswa, yaitu : (a) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri siswa itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (b) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
4. Prognosis
Langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus – kasus yang dihadapi.
5. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)
Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing, pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.
6. Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi siswa.
Berkenaan dengan evaluasi bimbingan, Depdiknas telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan belajar, yaitu :
 Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh siswa berkaitan dengan masalah yang dibahas;
 Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
 Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh siswa sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yaitu apabila:
 Siswa telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
 Siswa telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
 Siswa telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
 Siswa telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
 Siswa telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
 Siswa mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
 Siswa telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Wah,,, bagus sekali tulisannya sangat bermanfaat..

Unknown mengatakan...

Gan, mau tanya saya adalah orang yg susah dalam belajar padahal saya sudah berusaha keras tapi hasilnya tetap saja di bawah rata2. Apa yg salah saya ?
Saya juga belum menemukan cata belajar yg tepat buat saya. Tolong bantu saya gan, bagaimana saya menurut anda ?

Unknown mengatakan...

gan saya mau tanya... pas bagian kesulitan belajar itu gan dapat referensi dari buku apa gan ?
tolong kasih tau bukunya gan,,, untuk skripsi saya gan
pleasee dibalas gan

Unknown mengatakan...

maaf mau tanya,
Apa isinya hanya di kutip dari buku Psikologi pendidikan abin syamsudin dan psikologi pengajaran winkel?

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Premium Wordpress Themes